Siapa yang tidak tahu denan karya fenomenal yang barokahnya sampai kepelosok pelosok penjuru duni, alfiyah ibnu malik memiliki ceritanya saat beliau sendang proses mengarang kitab beliau
وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)
Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa
kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama
sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thî ibn Abdin Nur Az-Zawâwi
al-Maghribi atau Ibnu Mu’thi. Dalam kitab Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu
Hamdûn ‘ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik dikisahkan, setelah itu
Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ …………….
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…….)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik
terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak
dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung
sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.
“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”
“Betul,” sahut Ibnu Malik.
“Sampai di mana?”
“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”
“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”
“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.
“Kau ingin menuntaskannya?”
“Ya.”
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ
بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ
(Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati).
Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan
berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah
mati.
Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya
(‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang
sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan
sang pengarang Alfiyah
Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”
“Betul.”
Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia
membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua
bait muqaddimah yang lebih sempurna:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)
Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa
beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama
sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap
dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih
penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama
berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum
ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi
penerus hingga hari kiamat).
Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam
ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi
rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit
tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus
mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam
hingga sekarang
Wallau a'lam